Thursday, March 22, 2007

CARA YANG EFEKTIF
UNTUK MEMBERANTAS KORUPSI
Oleh : Arifin Rahman

Atmosfer korupsi yang masih kuat bercokol di semua urat nadi negeri ini membuat pemberantasan korupsi bak potret buram yang sulit diterawang. Yang diperlukan saat ini adalah membuat potret baru dengan wajah yang jelas dan garis-garis yang tegas.
Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini, yang mulai tidak pandang bulu dalam menangani kasus korupsi, membersitkan harapan yang hilang dari memori publik.
Gambaran buram tentang pemberantasan korupsi selama ini terungkap dari opini responden jajag pendapat Kompas, 13-14 April 2005. Dapat dikatakan, penalaran publik sudah sampai pada tahap frustrasi terhadap berlangsungnya korupsi di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hampir ¾ responden (72%) menganggap saat ini tidak ada satu pun lembaga di Indonesia yang bebas dari tindak pidana korupsi. Jangankan membaik, korupsi justru dinilai kian parah. Seluruh kelembagaan aparat penyelenggara negara dari pusat hingga daerah terpencil tak lepas dari budaya korupsi.
Mulai dari korupsi kecil-kecilan seperti memberi uang ”pelicin” kepada aparat hingga melakukan mark up (penggelembungan) pada anggaran negara, mudah ditemukan dalam pemberitaan media maupun praktik sehari-hari. TII umumkan hasil
indeks korupsi, bahwa wajah peradilan masih sarat dengan praktik suap. Seratus persen (100%) praktik suap yang terjadi di peradilan, inisiatifnya justru datang dari pihak aparat penegak hukum. Pihak yang berperkara terpaksa memberikan uang suap akibat adanya permintaan dari pihak yang menangani perkara.
Penilaian paling negatif masih diarahkan publik pada tubuh birokrasi kelembagaan negara. Dari tingkat menteri hingga pejabat kelurahan belum lepas dari tudingan perilaku korup. Lembaga legislatif yang tidak lain merupakan wakil rakyat juga dipandang sebagai lembaga yang menghawatirkan perilakunya. Hampir seluruh responden (93%) menganggap lembaga ini tidak bebas dari sepak terjang oknum-oknum yang berperilaku korup. Sifat anggota legislatif yang relatif kebal hukum dan tidak transparan dianggap memperparah korupsi di tubuh lembaga lembaga itu. Opini publik seperti ini sebenarnya terbangun dari banyaknya kasus korupsi yang mencuat di DPRD berbagai daerah, yang memberikan gambaran betapa rentannya kekuasaan politik dipergunakan untuk korupsi.
Penilaian tak jauh berbeda dialamatkan terhadap birokrasi departemen-departemen pemerintah yang dianggap masih bermain-main dengan kultur lama yang cenderung korup. Permainan anggaran, prosedur berbelit-elit demi pungli dan tindakan korup lainnya masih dianggap belum hilang dari birokrasi departemen. Tak terkecuali lembaga pemerintah yang bergerak dalam keagamaan sebagai institusi yang memperjuangkan nilai-nilai moral pun hingga kini, oleh ¾ responden dianggap belum bebas dengan tindak pidana korupsi. Bahkan, tak ketinggalan pula lembaga-lembaga penegak hukum seperti lembaga kehakiman, kejaksaan, maupun kepolisian, masih sama saja keadaannya jika dikaitkan dengan perilaku korup.
Dalam jajak pendapat sebelumnya (6 Desember 2004), terekam opini 73% responden yang menilai kondisi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) saat ini bukannya berkurang, tetapi justru kian marak dan diberbagai lapisan. Dalam pandangan responden, akar nepotisme yang kuat dan kondisi ekonomi yang buruk dalam masyarakat Indonesia dituding turut pula berperan memelihara korupsi. Moralitas dan budaya manusia Indonesia yang santun kerap tak berjalan sebagai akibat kendala ekonomi. Pendeknya, tali-temali korupsi dengan orang Indonesia sampai-sampai membuat responden meyakini KKN tak mungkin hilang di bumi pertiwi ini.
Peradilan bersama kepolisian dan militer menempati posisi yang tertinggi sebagai instansi yang paling sering terjadi praktik suap. Hasil survey Transparency International Indonesia (TII) untuk menghasilkan indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2006. survey yang dilakukan terhadap 1.760 pelaku bisnis yang tersebar di 32 kota di Indonesia. Beberapa pengusaha mengaku selalu dimintai uang pelicin dalam berinteraksi dengan institusi publik. Beberapa diantaranya memberikan uang pelicin. Dari 20 instansi yang diamati, yang menempati peringkat tertinggi terjadi prakktik suap adalah peradilan, polisi dan tentara.
Responden mempersepsikan ketiga instansi itu sarat dengan praktik suap. Sebanyak 51% mempersepsikan peradilan sarat dengan suap, sebanyak 55 % responden mempersepsikan polisi sarat dengan suap, dan 53% mempersepsikan instansi militer sarat dengan suap. Namun inisiatif suap di kepolisian & militer berasal dari kedua belah pihak, yakni aparat dan pengusaha.
Langkah terbaru pemberantasan korupsi yang dilancarkan KPK dengan menangkap Mulyana W Kusumah atas dugaan menyuap petugas BPK menjadi momentum baru dalam pemberantasan korupsi. Peristiwa yang menyentak perhatian publik itu benar-benar mengagetkan. Betapa tidak, Mulyana yang merupakan pejabat negara anggota KPU, yang dikenal sebagai sosok yang dinilai telah banyak berjasa dalam dunia pembelaan hukum, ternyata ditangkap kerena dugaan korupsi. Mulyana sendiri menganggap peristiwa yang menimpa dirinya adalah sebagai pemerasan yang berakhir dengan jebakan.
Jelas tindakan KPK itu bagaikan pedang bermata dua, menyakitkan sekaligus memberikan harapan. Pada satu sisi, dengan pedangnya, KPK telah menguak semakin dalam tabir korupsi di negeri ini. Pendekar hukum yang pernah mengetuai LBH justru mendekam di tahanan. Publik kian beroleh pembenaran bahwa korupsi benar-benar masuk ke dalam berbagai lini struktur negeri ini, termasuk para pembela panji-panji i moral yang dipercaya.
Namun di sisi lain, langkah KPK itu sekaligus membawa berkah bagi KPK. Apresiasi terhadap lembaga ini naik. Publik mulai melihat titik cerah dalam pemberantasan korupsi. Berbeda dengan penanganan berbagai peristiwa korupsi yang kerap tidak digubris masyarakat karena dipandang tak sungguh-sungguh, kali ini upaya KPK beroleh penghargaan dari 36% responden yang menilainya sebagai upaya sungguh-sungguh yang terpuji.
Gerak KPK yang tidak banyak diendus media massa kini bagaikan magnet. Lebih jauh, publik pun mengharapkan gebrakan-gebrakan baru KPK dalam meringkus para pejabat korup yang selama ini paling banter hanya bisa mereka kutuk dalam hati
Namun, kondisi penegakan hukum Indonesia yang kerap kali ”manis di bibir” tak pelak membuat 40% responden lainnya menganggap KPK masih sekadar memberikan lips service untuk menyenangkan publik. Separuh lebih responden bahkan khawatir bahwa penangkapan itu tidak akan berujung dengan tuntas dan memuaskan. Dalam ingatan publik, kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat negara senantiasa tidak mudah diselesaikan. Andaipun diproses, kambing hitam akan dimunculkan agar aktor-aktor dan otak intelektual pelaku korupsi bisa terus bersembunyi dari jerat hukum.
Di lain pihak, tingkat kesulitan dalam mengungkap korupsi dipastikan meningkat setelah kasus ini. Pejabat dan tokoh-tokoh yang memiliki rekam jejak buruk dengan sendirinya akan berusaha menyembunyikan hasil perbuatannya. Prestasi KPK memproses Abdulah Puteh dan Mulyana boleh jadi menyenangkan untuk diikuti, tetapi masih banyak konglomerat yang ditengarai membangkrutkan negara tidak juga diringkus. Puteh bahkan telah divonis 10 tahun penjara, walau sekarang menjadi tahanan kota alias belum menjalani hukuman di penjara.
Masih mandeknya pemberantasan korupsi dan pembenahan keorganisasian di tubuh berbagai instansi pemerintah tampaknya akan menambah berat beban pemberantasan korupsi yang mulai dijalankan KPK. Meskipun ujung tombak pemberantasan korupsi juga meliputi banyak lembaga, seperti polisi, jaksa, hakim, atau BPK, lembaga-lembaga itu ditengarai juga tidak bersih dari korupsi. Tidak mengherankan jika kemudian responden pun tidak yakin aparat lain akan mampu memberikan dukungan memadai terhadap upaya pemberantasan korupsi oleh KPK.
Bercermin dari kondisi tersebut, substansi dari Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi tampaknya masih terhenti di dokumen-dokumen kenegaraan. Meskipun minggu ini Presiden berencana mengeluarkan Instruksi lanjutan untuk menajamkan sektor-sektor pemberantasan dan pencegahan korupsi, tetapi luasnya bidang yang harus dibersihkan tampaknya akan menjadi sebuah kerja yang tak mudah.








Tugas:
Baca dengan seksama, pikirkan apa yang menyebabkan terjadinya korupsi, bagaimana mencegahnya, apa akibatnya bila korupsi tidak bisa diberantas, serta adakah cara-cara yang paling efektif dalam memberantas korupsi.
Kerjakan secara individual (10 nemit), kemudian berpasangan (15 menit), dilanjutkan dalam kelompok 5 – 6 orang selama (30 menit).
Presentasikan oleh salah satu kelompok ditanggapi oleh kelompok lain secara bergantian menampilkan:
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi
Tata cara mencegah agar tidak terjadinya korupsi
Akibat-akibat yang ditimbulkan dari maraknya tindak pidana korupsi
Cara-cara efektif dalam memberantas korupsi.

Sebagian pakar politik menilai, ada 3 hal yang menyebabkan korupsii merajalela di kalangan birokrat;
1) Dari segi hukum, sebuah teori menyatakan, seseorang berani melakukan tindak kejahatan, karena resiko akibat tindakannya jauh lebih kecil darii hasil yang diperolehnya.
Dalam konteks korupsi seseorang berani melakukan korupsi karena resiko hukumannya tidak lebih merugikan dibanding ketika ia memperoleh uang dari hasil korupsinya. Fakta menunjukkan, hukum pidana kurungan bagi pencuri ayam yang bisa mencapai 3 bulan. Sedang koruptor yang mencuri uang rakyat sampai bermilyar-milyar hanya divonis kurungan cuma beberapa bulan atau tahun plus dipotong masa tahanan.
2) Pribadi-pribadi birokrasi. Seorang birokrat yang telah terdidik secara intelek, memang tidak ada jaminan terdidik secara iman & takwa (imtak). Karena sistem pendidikan sekarang cenderung mengedepankan sisi intelek dibanding imtak.
3) Sistem yang melingkupi negara. Kebobokrokan yang terjadi di Indonesia saat ini, salah satunya korupsi, adalah sebuah kerusakan sistemik. Seperti bus dan sopir serta penumpangnya. Agar bisa sampai ke tujuan dengan selamat, diperlukan seorang sopir yang baik dan mobil yang kondisinya baik pula. Sistemnya adalah bus, pengendara adalah elit politik dan penumpangnya adalah rakyat. Ketika bus yang digunakan rusak, justru sangat berbahaya bagi keselamatan pengendara dan penumpang.

No comments: